Notice film ini ketika saya mendengar podcast dari akun @the_magdalene edisi interview dengan Nicholas Saputra. Di situ sang aktor sedikit bercerita tentang tentang keterlibatannya sebagai produser dalam sebuah film dokumenter. Nicho dengan gaya bicaranya yang irit kata namun efektif langsung ke maksud dan tujuan membocorkan sedikit bahwa film ini akan menyampaikan isu besar di Indonesia tetapi tidak pernah jadi prioritas, yaitu lingkungan. Film ini berjudul Semesta.
Karena yang berbicara adalah Nicholas Saputra, seorang aktor dengan reputasi mengkilap, serta personal brandingnya yang sangat pro-lingkungan hidup, maka saya memutuskan untuk menonton film Semesta.
Tidak banyak film dokumenter Indonesia yang pernah saya tonton (atau karena memang film dokumenter Indonesia tidak banyak?). Seingat saya film dokumenter yang secara utuh pernah saya tonton hanya karyanya Joshua Openheimer melalui Act of Killing dan film Senyapnya. Selebihnya mungkin pernah, tetapi tidak pernah sampai selesai.
Film Semesta menyoroti cara hidup dan upaya dari 7 orang dari provinsi, dan latar belakang berbeda di Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan di daerahnya. Kita akan tahu bahwa kekuatan sesungguhnya film ini ketika tiba di sepertiga bagian film. Yaitu konsep mengombinasikan antara latar belakang-suku-agama dengan kontribusi mereka terhadap keberlangsungan lingkungan. Bali dengan budaya yang kaya dengan teologi Hindu-nya, Sungai Utik dengan Dayak dan hutan tropis terbaik di dunia, Indonesia Timur dengan segala keterbatasannya yang berpadu dengan kasih ajaran Nasrani, Bumi Serambi Mekkah yang secara khidmat memahami Al-Qur’an untuk menyelamatkan gajah Sumatera, dan permasalahan urban ibukota yang coba dipecahkan oleh kaum milenial, dan masih ada beberapa lagi. Secara premis, Semesta sudah memiliki modal kuat bernama Indonesia-Lingkungan.
Karena yang berbicara adalah Nicholas Saputra, seorang aktor dengan reputasi mengkilap, serta personal brandingnya yang sangat pro-lingkungan hidup, maka saya memutuskan untuk menonton film Semesta.
Tidak banyak film dokumenter Indonesia yang pernah saya tonton (atau karena memang film dokumenter Indonesia tidak banyak?). Seingat saya film dokumenter yang secara utuh pernah saya tonton hanya karyanya Joshua Openheimer melalui Act of Killing dan film Senyapnya. Selebihnya mungkin pernah, tetapi tidak pernah sampai selesai.
Film Semesta menyoroti cara hidup dan upaya dari 7 orang dari provinsi, dan latar belakang berbeda di Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan di daerahnya. Kita akan tahu bahwa kekuatan sesungguhnya film ini ketika tiba di sepertiga bagian film. Yaitu konsep mengombinasikan antara latar belakang-suku-agama dengan kontribusi mereka terhadap keberlangsungan lingkungan. Bali dengan budaya yang kaya dengan teologi Hindu-nya, Sungai Utik dengan Dayak dan hutan tropis terbaik di dunia, Indonesia Timur dengan segala keterbatasannya yang berpadu dengan kasih ajaran Nasrani, Bumi Serambi Mekkah yang secara khidmat memahami Al-Qur’an untuk menyelamatkan gajah Sumatera, dan permasalahan urban ibukota yang coba dipecahkan oleh kaum milenial, dan masih ada beberapa lagi. Secara premis, Semesta sudah memiliki modal kuat bernama Indonesia-Lingkungan.
Dialog-dialog dengan narasumber dan interaksi dengan penduduk lokal begitu rapih dengan berdasarkan skrip untuk kebutuhan dramatisasi agar film tidak ‘dua dimensi’ begitu rapih tetapi tetap bisa menjaga genuinitas dokumenternya. Shoot-shoot kamera yang tepat membantu menonjolkan keunikan dan karakter tiap daerah. Akan banyak kita saksikan gambar-gambar dengan efek stardust cahaya matahari yang menyelinap dari sela-sela rimbunnya hutan, juga selipan efek makro yang tajam. Grading warnanya bikin betah, warna biru laut Raja Ampat atau hijau hutan Kalimantan menjadi senjata mematikan film ini.
Charun Nissa sangsutradara patut mendapat banyak pujian. Fungsi film dokumenter sebagai penyampai informasi yang berimbang dan pesan membangun sangat terpenuhi di sini tanpa melupakan packaging sebagai hiburannya. Semesta membuat orang yang selesai menontonnya akan do something, minimal membawa keluar sampah pop corn-nya, lalu buang pada tempatnya.
Yang sangat disayangkan dari film ini adalah keterbatasan edar dan jumlah layar. Tidak semua bioskop, bahkan di Jabodetabek, kebagian untuk memutar film ini. Saya berharap dengan keterbatasan tersebut film ini tetap banyak yang nonton. Karena bisa jadi nanti layarnya di tambah dan bioskop-bioskop daerah lain tertarik menayangkannya. Sayang kan, di film ada mengangkat budaya Bali, tetapi di Bali justru tidak ada yang menayangkan. Setiap daerah saya rasa perlu menonton film ini.
Debut keren Mas Nic dan partner sebagai produser. Sebuah karya yang lahir dari kegelisahan memang tidak pernah mengecewakan. Alam terkembang menjadi guru…
Charun Nissa sangsutradara patut mendapat banyak pujian. Fungsi film dokumenter sebagai penyampai informasi yang berimbang dan pesan membangun sangat terpenuhi di sini tanpa melupakan packaging sebagai hiburannya. Semesta membuat orang yang selesai menontonnya akan do something, minimal membawa keluar sampah pop corn-nya, lalu buang pada tempatnya.
Yang sangat disayangkan dari film ini adalah keterbatasan edar dan jumlah layar. Tidak semua bioskop, bahkan di Jabodetabek, kebagian untuk memutar film ini. Saya berharap dengan keterbatasan tersebut film ini tetap banyak yang nonton. Karena bisa jadi nanti layarnya di tambah dan bioskop-bioskop daerah lain tertarik menayangkannya. Sayang kan, di film ada mengangkat budaya Bali, tetapi di Bali justru tidak ada yang menayangkan. Setiap daerah saya rasa perlu menonton film ini.
Debut keren Mas Nic dan partner sebagai produser. Sebuah karya yang lahir dari kegelisahan memang tidak pernah mengecewakan. Alam terkembang menjadi guru…