@sebelumnonton_
  • Home
  • Kontak

Hi, Kami @sebelumnonton_ /

Di sini tempat kamu mencari alternatif sebelum nonton

Notice film ini ketika saya mendengar podcast dari akun @the_magdalene edisi interview dengan Nicholas Saputra. Di situ sang aktor sedikit bercerita tentang tentang keterlibatannya sebagai produser dalam sebuah film dokumenter. Nicho dengan gaya bicaranya yang irit kata namun efektif langsung ke maksud dan tujuan membocorkan sedikit bahwa film ini akan menyampaikan isu besar di Indonesia tetapi tidak pernah jadi prioritas, yaitu lingkungan. Film ini berjudul Semesta.

Karena yang berbicara adalah Nicholas Saputra, seorang aktor dengan reputasi mengkilap, serta personal brandingnya yang sangat pro-lingkungan hidup, maka saya memutuskan untuk menonton film Semesta.

Tidak banyak film dokumenter Indonesia yang pernah saya tonton (atau karena memang film dokumenter Indonesia tidak banyak?). Seingat saya film dokumenter yang secara utuh pernah saya tonton hanya karyanya Joshua Openheimer melalui Act of Killing dan film Senyapnya. Selebihnya mungkin pernah, tetapi tidak pernah sampai selesai.

Film Semesta menyoroti cara hidup dan upaya dari 7 orang dari provinsi, dan latar belakang berbeda di Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan di daerahnya. Kita akan tahu bahwa kekuatan sesungguhnya film ini ketika tiba di sepertiga bagian film. Yaitu konsep mengombinasikan antara latar belakang-suku-agama dengan kontribusi mereka terhadap keberlangsungan lingkungan. Bali dengan budaya yang kaya dengan teologi Hindu-nya, Sungai Utik dengan Dayak dan hutan tropis terbaik di dunia, Indonesia Timur dengan segala keterbatasannya yang berpadu dengan kasih ajaran Nasrani, Bumi Serambi Mekkah yang secara khidmat memahami Al-Qur’an untuk menyelamatkan gajah Sumatera, dan permasalahan urban ibukota yang coba dipecahkan oleh kaum milenial, dan masih ada beberapa lagi. Secara premis, Semesta sudah memiliki modal kuat bernama Indonesia-Lingkungan. 
Dialog-dialog dengan narasumber dan interaksi dengan penduduk lokal begitu rapih dengan berdasarkan skrip untuk kebutuhan dramatisasi agar film tidak ‘dua dimensi’ begitu rapih tetapi tetap bisa menjaga genuinitas dokumenternya. Shoot-shoot kamera yang tepat membantu menonjolkan keunikan dan karakter tiap daerah. Akan banyak kita saksikan gambar-gambar dengan efek stardust cahaya matahari yang menyelinap dari sela-sela rimbunnya hutan, juga selipan efek makro yang tajam. Grading warnanya bikin betah, warna biru laut Raja Ampat atau hijau hutan Kalimantan menjadi senjata mematikan film ini.

Charun Nissa sangsutradara patut mendapat banyak pujian. Fungsi film dokumenter sebagai penyampai informasi yang berimbang dan pesan membangun sangat terpenuhi di sini tanpa melupakan packaging sebagai hiburannya. Semesta membuat orang yang selesai menontonnya akan do something, minimal membawa keluar sampah pop corn-nya, lalu buang pada tempatnya.

Yang sangat disayangkan dari film ini adalah keterbatasan edar dan jumlah layar. Tidak semua bioskop, bahkan di Jabodetabek, kebagian untuk memutar film ini. Saya berharap dengan keterbatasan tersebut film ini tetap banyak yang nonton. Karena bisa jadi nanti layarnya di tambah dan bioskop-bioskop daerah lain tertarik menayangkannya. Sayang kan, di film ada mengangkat budaya Bali, tetapi di Bali justru tidak ada yang menayangkan. Setiap daerah saya rasa perlu menonton film ini.

Debut keren Mas Nic dan partner sebagai produser. Sebuah karya yang lahir dari kegelisahan memang tidak pernah mengecewakan. Alam terkembang menjadi guru…
Share on:
Di dalam sebuah karya bercerita, baik komik, novel, atau film, rasanya hampir selalu ada karakter atau tokoh antagonis yang menyebalkan tetapi ‘disayang’ sama penikmat. Contohnya Draco Malfoy di Harry Potter atau sosok Loki di semesta Thor. Kesan cupu Harry bakal jadi biasa saja dan tidak mengundang simpati kalau tidak ada karakter gamparable macam Malfoy. Bahkan konflik Harry-Draco ini rasanya lebih ngangenin dibanding pertarungan Harry-Vodemort yang sesungguhnya jadi plot utama Harry Potter.

Di dunia superhero, kita punya sosok protagonis kesayangan sepanjang masa bernama Batman. Bob Kane, sang kreator, mungkin tidak akan menyangka dari sesosok Batman cerita bisa berkembang menjadi bermacam-macam plot, eksplorasi karakter, hingga ide-ide baru. Dari Batman, lahir penyeimbang sang jagoan bernama Joker.

Terlepas dari simpang siur dan sengketa tentang darimana inspirasi sehingga sosok Joker bisa lahir, tapi saya sepakat bahwa tujuan Joker diciptakan adalah sebagai lawan sepadan buat sang Ksatria Malam dari Gotham. Untuk terlihat digdaya, Batman perlu lawan yang memiliki kemampuan setara namun kontras. Batman yang misterius, Joker yang banci tampil. Batman yang woles, Joker yang hahahihi. Batman yang serak-serak berat, Joker yang cempreng. Batman yang gelap, Joker yang penuh warna. Kontras. Namun mereka punya tingkat intelejensia yang sama dan sama-sama dibentuk dari masa lalu kelam. Tidak ada yang lebih menarik daripada rivalitas seperti itu. 


Berpuluh-puluh tahun Joker mendampingi Batman, hingga DC menjadi salah satu raja komik dunia, selama itu pula tertanam image bahwa Si Badut adalah musuh bebuyutan Sang Kelelawar. Penjahat-penjahat DC bisa saja berperan silih berganti dan santai-santai saja. Tetapi untuk Joker, beban berat sudah menanti.

Di versi film, sudah beberapa aktor yang memerankan Joker dan tidak pernah lepas dari kritik. Mari lewatkan Cesar Romero, pemeran Joker pertama di serial Batman tahun 60-an. Terlalu jauh, referensi saya kurang. Lalu ada Jack Nicholson di Batman versi Michael Keaton, Joker ini dikritik karena kurang dark dan kurang psycho. Lalu Joker yang diperankan Jared Leto menuai kritik karena penampilan visualnya yang lebih mirip rapper. Namun, masih ada Joker yang menuai pujian dan memuaskan fans Batman.

Mark Hamill rasanya bisa dikatakan sukses. Namun, itu dilakukan di serial animasi. Hamill berhasil menarik perhatian penggemar Batman melalui suara dan gaya bicara. Ada dua aktor lagi yang memiliki kesempatan memerankan Joker. Heath Ledger, dan Joaquin Phoenix.

Phoenix akhirnya bisa memberikan perlawanan kepada Joker-nya Ledger yang selama ini digadang-gadang adalah Joker terbaik dalam film. Agak berat memang buat Jared Leto saat itu, di samping Joker yang diperankannya bukan tokoh utama, tidak bisa dipungkiri juga beban berat itu karena dia mewarisi Joker setelah Ledger.

Lalu mana yang terbaik, versi Phoenix, atau Ledger?

Selain pertanyaan sulit, pertanyaan itu juga rasanya tidak fair menurut saya. Karena dua Joker ini memiliki masalah dan fungsi yang berbeda dalam film. Joker-nya Heath Ledger, sudah sangar sejak awal film. Orang sudah tahu dia Joker. Joker di sini sudah punya lawan, yaitu Batman. Ledger sudah ditugaskan supaya orang ramai-ramai membencinya. Joker-nya Heath Ledger sudah diset untuk jadi full antagonis, tidak ada ruang untuk dia mendapatkan simpati dari penonton. Sentuhan Chris Nolan dalam membuat film Batman yang berbeda dari sebelum-sebelumnya menyempurnakan akting Ledger sebagai penjahat Psikopat akut.

Joker-nya Joaquin Phoenix, saya tidak bilang lebih baik, ini lebih mendalam. Harus memerankan karakter pra-Joker yang memiliki sejumlah penyakit mental serius dan jahatnya deraan sosial membuat Phoenix terlihat lebih teatrikal, lebih humanis, lebih apa, ya? Sinematik, mungkin? Oscarable, lah. Sekuens yang harus dilalui lebih banyak. Wajar, di sini Jokernya betul-betul sendirian, tidak berbagi panggung dengan Batman. Lawan Joker di sini adalah dirinya sendiri dan lingkungan sosial. Ini yang membuat perbedaan besar dibanding Joker-nya Ledger, di sini penonton diberi ruang bersimpati dan empati atas sosok Joker. Percayalah, di antara sekian banyak penonton Joker, pasti ada sedikit yang mendukung tokoh Arthur membunuh orang-orang yang membully-nya.

Jadi, yang mana Joker-mu?

Dua-duanya mengajak kita untuk tersenyum…dengan caranya sendiri.
Share on:

[Spoiler alert!!!] 

Makoto Shinkai seorang sutradara film anime asal Jepang yang telah merilis berbagai karya film anime. Yang paling monumental adalah kimi no Na wa (your name). film tersebut menjadi film anime terlaris sepanjang masa. Seakan tidak ingin henti di sana, Makoto lagi-lagi membuat film kisah cinta remaja. Film anime kali ini berjudul Tenki no Ko (Weathering With You.) Film yang bercerita tentang gadis pengendali cuaca ini berhasil memikat para penggemar Makoto Shinkai.


Di Jepang, Agustus menjadi waktu musim panas dengan suhu dapat mencapai 32-40 derajat celcius. Namun, kondisi yang terjadi justru berbeda. Tokyo diguyur hujan terus menerus tanpa henti. Hingga muncul scene Hina Amano (Nana Mori) yang sedang berdoa supaya cuaca dapat kembali cerah seperti seharusnya. Hingga Hina melihat pancaran sinar matahari yang asing hanya terfokus pada satu titik. Hina menghampiri cahaya tersebut dan menemukan sebuah kuil di atap bangunan yang sudah tidak terpakai. Awal mula inilah yang membuat Hina menjadi pengendali cuaca.


Morishima Hodaka 15 tahun (Kotaro Daigo) tinggal di sebuah pulau kecil berada di Jepang, ia kabur dari rumah dan mendatangi Tokyo dengan membawa harapan baru. Sayangnya, cuaca di Tokyo tidak secerah harapannya, karena saat itu Tokyo selalu diguyur hujan deras meskipun musim panas. Hodaka berperan sebagai protagonist yang harus berjuangan dengan mencari pekerjaan, tetapi kenyataan tidak semudah itu. setelah ngalor ngidul enggak jelas, Hodaka bertemu dengan Keisuke Suga (Shun Oguri). Diketahui bahwa Suga adalah editor pada sebuah majalah yang mengangkat fenomena mistis. Setelah pasrah mencari pekerjaan, Hodaka mendatangi Suga dengan harapan mendapatkan pekerjaan. seperti peribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba Hodaka mendapatkan pekerjaan sebagai alasan kebaikan kepada Suga selama mereka menaiki kapal menuju ibukota.



Takdir mempertemukan Hodaka dengan perempuan remaja bernama Hina Amano di restoran cepat saji. Hina memberikan makanan pada Hodaka. Sejak saat itu, Hina mengungkapan bahwa dirinya mempunyai kekuatan untuk mengontrol cuaca. Hodak melihat ini sebagai lading mencari uang, yakni sebagai pawing hujan. Bermula dari ide Hodaka, akhirnya Hina, Nagi (Sakura Kiryu) adik laki-laki Hina dan Hodaka menjual kekuatan Hina ke orang-orang yang membutuhkan cuaca cerah. Tetapi, semakin laris peluang tersebut, semakin terancam juga jiwa Hina.

Selama di Tokyo, Hodaka menjadi burunonan polisi, tepatnya setelah menggunakan pistol yang ditemukan di restoran cepat saji. Dan ini menjadi petaka juga untuk Hina dan Nagi. Makoto membuat cerita dengan pertemuan, perpisahan, pencarian, dan langit. Hal ini juga serupa dengan 2 (dua) karya sebelumnya.

Hmm, saya sendiri sulit untuk tidak menghubungkan Weathering With You dengan Your Name. Pasalnya 3 (tiga) film terakhir Makoto Shinkai berhubungan dengan semesta. Tahun 2013 Makoto merilis Kotonoha no Ni wa (The Garden of words) film ini menceritakan tentang Takao Akizui seorang anak sekolah yang mempunyai mimpi untuk membuat sepatu, setiap kali hujan turun ia selalu datang ke taman untuk membuat sepatu. Disaat yang bersamaan juga ia bertemu dengan Yukino, perempuan pekerja yang selalu menghabiskan waktunya dengan minum bird an makan cokelat. Film ini hanya fokus pada 2 tokoh yang akhirnya pertemuan keduanya harus berakhir karena Yukino memutuskan untuk pindah kerja ke kampung halamannya. Tahun 2016 Makoto merilis Kimi no Na wa yang menceritakan tentang Mitsuha Miyamizu dari Desa Itomori. Keluarga Mitsuha memiliki kemampuan spiritual diman tubuh anak perempuan dapat bertukar dengan orang lain yang beda waktu. Singkatnya Mitsuha bertukar tubuh dengan Taki Tachibana yang berasal dari dunia 3 tahun setelah Mitsuha.

Lalu apa hubungannya dari kedua karya tersebut?
Ternyata Yukino pindah kerja sebagai guru di Desa Itomori di sekolah Mitsuha. Dalam film Kimi no Na wa, Yukino memang hanya sebagai cameo tapi justru ini memperjelas cerita ke mana sebenarnya Yukino.

Sedangkan tahun 2019 Makoto merilis film dengan judul Weathering With You. Pertemuan antara Hina dan Hodaka menjadi inti dari cerita dalam film ini. Terdapat scene yang cukup jelas sosok Miyamizu (Kimi no Na wa) sebagai salah satu pedagang di pusat perbelanjaan, ia merekomendasikan Hodaka cincin untuk Hina. Dan sosok Tachibana Taki (Kimi no Na wa) menjadi seorang cucu dari nenek yang meminta jasa dari Hina dan Hodaka. Dalam scene tersebut Taki menyarankan Hodaka untuk memberikan Hina hadiah ulang tahun.

Melalui film animasi Weathering With You, kita dapat mengambil pelajaran bahwa segala yang dari alam akan kembali kea lam. Seperti pesan dari seorang nenek yang mengatakan “Dahulu, Tokyo juga sebuah teluk, jika sekarang digenangi air pun ya wajar.”

1 September 2019
Kesayangan Kamu.
Share on:

Hampir dari semua kita telah dibuat orgasme masal ketika Marvel menyuguhkan Avengers: Endgame sebagai kulminasi dari dua puluh satu rangkaian film yang bergantian hadir selama lebih kurang sepuluh tahun terakhir. Canda dan tawa, tangis serta air mata menjadi tamasya yang biasa di pagelaran yang tayang dua bulan silam. Gemuruh tepuk tangan membuncah di hampir seluruh bioskop. Suka atau tidak, ia lebih dari pantas sebagai penutup pentas yang paripurna. Penonton puas. 

Lantas bagaimana? Selesai? Tidak.

Sumber gambar: Imdb.com

Kisah terus berlanjut. Avengers: Endgame bukanlah akhir dari ‘permainan’. Bukan pula akhir dari fase perjalanan yang berkesinambungan. Untuk semesta Marvel kita masih akan terus disuguhi banyak sekali aksi yang terkomposisi sampai belasan tahun nanti. Sedangkan untuk fase perjalanannya, yang kini telah berada di fase 3. Seperti yang disampaikan oleh Kevin Feige, selaku bos besar Marvel, rangkaian fase 3 akan ditutup oleh sekuel Si Manusia Laba-laba, Spider-Man: Far From Home (FFH).

Spider-Man: Far From Home mengemban tugas dan tanggung jawab yang berat. Selain ia perlu untuk menjawab beberapa hal yang menggantung di Avengers: Endgame, ia juga mesti menjadi penyambung untuk Saga Marvel di fase keempat nanti. Bukan tugas mudah untuk menjadi jembatan kisah para pahlawan legendaris yang terpaksa harus pergi dan mati ke suatu kumpulan pahlawan yang, mungkin, baru nanti.

Hasilnya? Luar biasa. Berkebalikan dengan official movie posternya yang buruk.  

Beri tepuk tangan yang meriah untuk Tom Holland. Jika di penampilan sebelumnya, baik di Spider-Man: Homecoming, Captain America: Civil War atau pada dua seri pamungkas Avengers, eksistensi Tom Holland sebagai penerus Tobey Mc Guire dan Andrew Garfield kerap diperdebatkan, dibandingkan siapa yang terbaik di antaranya. Di sini, dengan penampilannya yang memukau, saya yakin kita semua akan bersepakat bahwa Tom Holland seolah diciptakan untuk menjadi Spider-Man dan Peter Parker. Atau paling tidak, ia benar-benar pantas memerankan salah satu tokoh fiksi yang paling dicintai di muka bumi.

Love Scenes-nya dengan Michelle “MJ” Jones (Zendaya, The Greatest Showman) berhasil membuat saya gemas luar biasa. Menurut saya pribadi, mereka berdua inilah ‘pasangan’ terbaik yang ada di semesta sinematik Marvel ditambah dengan dua seri Spider-Man lainnya. Siapa itu Kirsten Dunst? Siapa Itu Emma Stone? Zendaya adalah pendamping ‘Spider-Man’ yang paling menggemaskan dan bikin penasaran. Sinisnya itu loh. Ya ampun!

Seperti yang kita semua ketahui, ikatan emosional yang muncul di antara Tony Stark dan Peter Parker di semesta sinematik Marvel membuat kita perlu menyiapkan tissue untuk menontonnya. Di sini? Sama saja. Pada beberapa adegan diperlihatkan bagaimana ‘kehilangannya’ Peter pasca kepergian Tony. Bahkan salah satu adegan terbaik di Spider-Man: Far From Home adalah ketika Peter merasa putus asa karena gagal melaksanakan ‘amanah’ dari Tony.

“Everywhere I go, I see his face. I just really miss him.”

Jon Watss selaku sutradara dan Chris McKenna yang bertanggung jawab menulis cerita mampu memaksimalkan kemampuan Spider-Man yang selama ini jarang dieskpos: Spider-Sense. Atau di edisi ini diperkenalkan dengan istilah baru yang lucu. Sehingga Spider-Man tidak melulu tentang lompat ayun dan panjat tembok belaka. Kolaborasi dan visual yang disuguhkan setiap kali beraksi bersama Mysterio (Jake Gyllenhaal, Donnie Darko) benar-benar memanjakan mata dan jelas memberikan pengalaman sinematik yang luar biasa. Ia berada di tingkatan yang berbeda. Bahkan jika dibandingkan dengan adegan pertarungan yang memutarbalikan gedung-gedung di Doctor Strange. 

Dari segi cerita, ada sebuah kejutan yang tak terduga di sepertiga akhir. Plot yang jarang terjadi di film-film Marvel.

Untuk Jake sendiri, sebagaimana biasa, tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Namun pencuri perhatian tetap layak diberikan untuk Ned (Jacob Batalon) yang kali ini ditemani oleh Betty Brant (Jacob Batalon) sebagai pasangan baru yang tidak disengaja. Porsinya memang tidak sebanyak seperti di film sebelumnya. Namun di setiap kehadirannya selalu menghadirkan gelak tawa. Rasa-rasanya untuk mendulang tambahan uang, Marvel perlu menyiapkan film khusus untuk Ned (dan juga Luis dari Ant-Man).

Sebagai kesimpulan. Spider-Man: Far From Home benar-benar peningkatan kualitas film Spider-Man dari segala entitas. Aksi? Luar biasa. Komedi? Segar. Cinta-cintaan? Bikin gemas. Visual? Mewah. Jalan Cerita? Tak terduga. Maka alasan apa yang perlu disampaikan untuk melewatkan penutup fase tiga dari semesta sinematik Marvel ini?

Duh, Gemez.

Ada dua credit scene super penting yang tidak boleh dilewatkan. Serius. Jangan pulang sebelum diusir. Ini benar-benar penting.
Share on:
Setelah nonton film Parasite, yang mana saya kebagian nonton premiere-nya (iya, iya ini riya), saya cuma mikir, “ini film kurangnya cuma di layar pemutarannya yang terbatas di Indonesia. Sayang banget…”. Untuk yang di daerahnya enggak ada CGV atau Cinemax, ya kudu repot-repot nyari dua jaringan bioskop tersebut. Tapi saya janjikan satu hal, worth it kok nyari bioskop yang jauh untuk nonton film bagus kayak Parasite ini.

Parasite menampilkan penulisan format sederhana tiga babak yang rapih dan smooth. Tempo plot yang terjaga bikin mood penonton konsisten, naik pelan-pelan hingga puncak dan turun di ending dengan soft landing. Kirain bakal ketemu sama drama-drama ala Kokoreaan yang berlinang air mata mau setajam apa pun konfliknya. Tetapi di Parasite akan kita dapatkan konflik tajam dan jelas mengarah ke mana tanpa mengorbankan sisi dramanya.

Dari premisnya aja udah menarik banget, berangkat dari kegelisahan “senekat apa kita bisa bertindak untuk menutupi kebohongan?”. Sebuah keluarga menjadi kendaraan bergeraknya cerita di film ini. Ini yang membuat Parasite bisa mencekam, namun menyentuh di waktu yang sama. Setiap dag dig dug terbayar dengan melting moment khas sinema Korea. Lebih khusus lagi, Khas Boo Joon-Ho. 


Kalau ditanya ini film genre-nya apa, bingung juga, sih. Dibilang thriller, tapi enggak ada tuh scoring-scoring atau jumpscare lebay tapi misteri dan tegangnya tetap dapet. Dibilang komedi, ya lucu, tapi miris juga sama tema yang diangkat. Dibilang indie, tapi pengisi soundtrack-nya bukan Fiersa Besari. Ummm…anjir, gini amat cara menuh-menuhin biar syarat 300an kata sebuah artikel terpenuhi.

Anyway, blendingan genre yang pas tersebut yang mungkin saja membawa film ini menggondol Palem Emas di Cannes Festival. Akting pemaennya enggak perlu diragukan lagi, terutama untuk keluarga parasite yang permainan tek-toknya, asli, kompak banget kayak lini tengah Barcelona jaman-jamannya masih ada Xavi-Iniesta.

Cho Yeo-Jeong yang berperan sebagai ibu-ibu muda eksekutif, kaya raya, yang kalo ngocok arisan aja mesti di Singapur atau dataran tinggi Bhutan, menjadi katalis yang baik dari seluruh konflik walaupun doi bukan pemeran utama. Lee Jung-Eun yang berperan sebagai asisten rumah tangga pun sukses jadi bintang di film ini. Perubahan drastis karakternya adalah salah satu kekuatan utama Parasite.

Tapi favorit saya sih Park So-dam. Dia berperan sebagai Ki-jeong, anak perempuan jenius dan penuh ambisi. Fisiknya yang anggun, berbanding terbalik dengan karakternya yang keras, tetapi sebagaimana remaja lain, dia juga rapuh. Bisa dibilang dia mastermind yang merancang konflik di Parasite.

Yaudah gih nonton. Ini sengaja nulisnya beberapa hari setelah rilis biar meminimalisir spoiler. Karena ini kan film dengan misteri berlapis. Selamat nonton, sobat literasi yang kalo nonton ke bioskop sebelom film mulai nonkrong dulu di lorong sambil ngecas HP di bawah poster film…


Share on:

Anjir! Anjir! Anjir!

Ketahuilah, kata-kata yang saya sebutkan di atas bukan bermaksud kasar. Kamu boleh menggantinya dengan kata atau kalimat apa pun yang kamu imani untuk mengekspresikan kekaguman atas apa yang kamu lihat. Seratus delapan puluh satu menit dan hampir dari separuh waktu itu saya berucap ‘anjir’ demi kekaguman saya yang luar biasa untuk film pamungkas Marvel Cinematic Universe. Avengers: Endgame.

Endgame bukan hanya sekadar film pahlawan super belaka. Lebih dari itu, ia menyajikan drama, kisah cinta yang pedih, komedi, aksi, fiksi ilmiah dengan segudang teori rumit dan banyak lagi kompleksitas cerita yang dituangkan dalam satu panggung yang istimewa. Beri tepuk tangan penuh penghargaan untuk Russo bersaudara yang mampu menyentil emosi para penonton dengan sajian sisi kelam para pahlawan super. Salah satu cara yang jarang ada di film-film Marvel. Di sini penonton dipaksa untuk getir dan berempati ketika melihat emosi para pahlawan super yang tersisa paska decimation yang dilakukan Thanos (Josh Brolin; Sicario 2015) di Avengers: Infinity Wars. Marah, kesal, dendam, emosi, kecewa, pesimis, speechless dirangkum dalam satu narasi yang menyedihkan.

Sumber gambar: NBC News.com

Di lebih separuh awal film penonton awam mungkin akan merasa bosan. Dalam gelembung dialog di pikiran mereka mungkin ‘film superhero kok gini, sih?’ demi melihat durasi tanpa aksi.

Iya, bagi sebagian mereka pengembangan konflik Endgame memang terasa lama dan sedikit membosankan. Tapi untuk penonton yang telah melahap dua puluh satu film sebelumnya justru sebaliknya. Di situlah rangkaian memori dan kenangan dimainkan. Satu persatu kejadian yang melibatkan banyak sekali karakter ditulis dengan sedemikian rapi. Beberapa di antaranya beririsan, beberapa yang lain bertumpang tindih. Menjadikannya sebuah plot twist yang sederhana namun ‘ngena’. Dan segala kerumitan cerita akhirnya berkorelasi dalam benang merah yang membawanya ke satu tujuan akhir: Endgame.  

Tidak seperti Infinity Wars yang lebih fokus pada Thanos dengan segala rencananya sehingga peran karakter-karakter lain terpaksa tereduksi. Pada Endgame hampir semua karakter mendapat peran yang sama pentingnya. Bahkan, jika kamu jeli, dalam dialog-dialog yang dibangun, secara tersirat, peran masing-masing karakter ikut ditegaskan.

Sekelam apa pun narasi yang coba dihadirkan oleh Russo bersaudara tidak membuat mereka menghilangkan ciri khas dari film-film Marvel. Tony Stark yang satir, Steve Roger yang polos-polos bego, Scott Lang yang sok tahu tapi menyebalkan atau Thor yang dengan segala arogansinya tetap dapat menghadirkan komedi khas Marvel secara bergantian.

Sumber gambar: Guidingtech.com

Dalam salah satu sesi wawancara, Robert Downey Jr. (pemeran Tony Stark) mengatakan bahwa ‘8 menit akhir dari Endgame adalah yang terbaik dari seluruh semesta Marvel Cinematic yang pernah dibuat’. Saya setuju? Tidak. Untuk saya, tiga puluh menit terakhir Endgame adalah yang terbaik. Di sana, di tiga puluh menit terakhir itu, kamu akan melihat salah satu adegan pertarungan terbaik sepanjang masa, di sana kamu akan tertawa, di sana kamu akan merasa bahagia, di sana kamu akan menangis, di sana syahwat menonton film-mu akan berejakulasi, di sana kamu juga akan patah hati.

Jika kamu melihat Endgame sebagai sebuah film tunggal. Film ini mungkin akan terasa biasa-biasa saja. Tapi sayangnya, Endgame adalah sebuah kesatuan film yang ‘dibuat’ selama sebelas tahun yang tak terpisahkan. Endgame adalah penutup yang mengesankan dari dua puluh satu perjalanan. 

Dan, permainan selesai.

Sumber gambar: Imdb.com


Share on:
  • ← Previous post
  • Hai, silakan membaca dan semoga betah di sini .
  • Kamu bisa juga, lho, kirim tulisan kamu ke sebelumnonton@gmail.com
140x140

@sebelumnonton_

Penonton yang Menulis
Instagram Twitter Gplus RSS

Berdasarkan Genre

Action (18) Adventure (12) Animation (11) Bollywood (3) Comedy (15) Crime (5) Drama (16) Fantasy (10) Hollywood (6) Horror (1) Indonesia (13) Korea (3) Mystery (2) Sci-Fi (4) Thriller (5)

Paling Banyak Dilihat

  • Miss Granny V Sweet 20
  • Review Film: Aruna Dan Lidahnya, Lezat!
  • Detektif Conan Episode 861-862
Baru ditulis
latest comments

Berdasarkan Tahun Tayang

1980 2008 2009 2015 2016 2017 2018 2019
#kutipanfilm @sebelumnonton_
"The greatest trick the devil ever pulled was convincing the world he didn't exist."
Usual Suspect - 1995
Reply Retweet Favorite

12 Des 2017

#kutipanfilm @sebelumnonton_
"Film adalah anugerah seni terbesar yang pernah ditemukan manusia."
Janji Joni - 2005
Reply Retweet Favorite

12 Des 2017

#kutipanfilm @sebelumnonton_
"The first rule of Fight Club is: You do not talk about Fight Club."
Fight Club - 1999
Reply Retweet Favorite

12 Des 2017

Blog ini dibuat untuk memberikan alternatif bagi Anda sebelum menonton film.
Ulasan yang ada di blog ini hasil dari opini & selera pribadi penulis. Jika Anda memiliki pandangan berbeda setelah menonton sebuah film, silakan kirimkan tulisan Anda ke sebelumnonton@gmail.com

Instagram Twitter Gplus RSS
  • Home
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Syarat & Kebijakan Privasi
Created By SoraTemplates | Edited By andhikamppp.com