Rasanya sebelum Dee Lestari melahirkan karya sastra dalam bentuk cerita pendek berjudul Filosofi Kopi, orang-orang begitu abai tentang sisi-sisi lain soal kopi. Kopi itu ya masukin cangkir, tuang air panas, aduk, lalu sruput selagi panas. Sebatas itu. Lalu cerpen Filosofi Kopi muncul bak mantra Merlin yang mengubah peruntungan pasukan Raja Arthur di medan perang.
Karena beberapa kata indah di cerita tersebut, orang-orang mulai mencari-cari alasan dan tujuan untuk apa mereka ngopi. Ngopi perlahan bukan lagi aktivitas sederhana pendamping baca Koran pagi di teras rumah. Anak-anak muda penggemar sastra, pemuja Dee, mulai ragu mencampur gula ke dalam kopi mereka, karena tidak filosofis.
Karena animo demikian deras, sineas merasa perlu menterjemahkan cerita pendek tersebut ke dalam sebuah skenario, dibaca pelakon, diatur sutradara, dan dirangkum dalam sebuah frame film. Voila, jadilah Filosofi Kopi versi film.
Aku tidak punya data pasti, jujur, dalam menentukan berapa jumlah penontonnya setelah rilis. Tapi efek film ini sedikit banyak bisa dirasakan. Mulai dari pemain utamanya, Chico Jericho. Berperan sebagai Ben. Karalter Ben pada Chico akan melekat lama dalam benak penikmat film Indonesia. Apa itu karakter? Aku nggak bisa menjabarkannya dalam definisi yang pasti. Tapi coba lihat Robert Downey Jr sebagai Tony Stark, Daniel Radcliffe sebagai Harry Potter, atau Ongky Alexander sebagai si Boy, seperti itulah karakter. Chico Jericho pun akan ke arah sana. Dia memerankan Ben sangat nyaman, kayaknya Ben itu memang dunianya. Ada film beliau berjudul Matahari Dari Timur, bagus juga aktingnya di situ. Tapi tak kudapat karakter sekuat seperti di Filosofi Kopi.
Di sini juga Julie Estelle seperti ‘comeback’. Banyak film yang dibintanginya sebelum Filosofi Kopi, tapi khalayak baru banyak memuji di sini. Rio Dewanto sebagai sidekick juga cukup membuat warna tersendiri di film ini. Dia berhasil menjadi tokoh kunci untuk mengembangkan plot yang di cerpennya sangat terbatas dan sederhana. Akupun menontonnya jadi terbawa semangat karakter Jody yang dilakoninya.
Nah di luar film, dampaknya juga cukup menarik. Pasca Filosofi Kopi, nongkrong di kafe jadi kebiasaan. Para pemilik modal menempatkan membuka kedai kopi sebagai daftar teratas bidang usaha yang akan digeluti. Dulu, siapa peduli, atau paling tidak, aware dengan profesi barista? Setelah Filosfi Kopi, barista naik kelas, jadi keren. Definisi cowok keren jadi bertambah, yaitu yang bisa parkir mundur dengan lurus, dan yang bisa meracik kopi. Dan orang mulai bertanya, “Ini robusta apa arabika?”. Akupun dulu taunya kopi paling enak itu ya Ayam Merak. Setelah nonton Filosofi Kopi, jadi sering ke kedai kopi. Apa-apa kayaknya pengennya ke kedai kopi. Meet up, di kedai kopi. Nulis, di kedai kopi. Sampe ngeteh yang jelas-jelas nggak ada kopinya, juga di kedai kopi. Ayam Merak menjadi fana. Yang jelas, penikmat kopi menjadi predikat yang sah untuk diklaim.
Mungkin karena itu juga Filosofi Kopi 2 dibuat. Tulisan ini terbit tepat di hari Filosofi Kopi 2 tayang serentak di seluruh bioskop Tanah Air. Patut ditunggu, efek domino apa lagi yang akan terjadi. Dapet jodoh? Who knows…
![]() |
Stuntman |
0 komentar