Jika sekarang ini saya memiliki Death Note, nama-nama yang akan saya tulis pertama kali adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap proses pembuatan Death Note versi Netflix yang baru-baru ini tayang ke permukaan. Atau, jika Death Note memiliki fungsi untuk membunuh di masa lalu, nama-nama mereka akan saya tuliskan ketika mereka, bahkan, belum sempat memikirkan sama sekali untuk membuat remake Death Note ini. Alasannya sederhana: Death Note versi Netflix adalah sesungguhnya kebusukan yang hakiki.
Semenjak tragedi kebangsatan yang terjadi pada Dragon Ball Evolution/DBE (2009), saya tidak pernah terlalu berharap live-action manga versi Hollywood akan menyuguhkan kepuasan menonton film. DBE adalah sesungguhnya penistaan terhadap masa kecil yang penuh imajinasi.
Namun, ketika saya pertama kali melihat traile Death Note Netflix, yang berseliweran di linimasa, saya merasa harus dan ingin untuk menontonnya, mengabaikan kekecewaan yang saya dapat setelah menonton DBE. Netflix, bagaimanapun, telah berhasil membuat serial live action superhero dunia dengan rekam jejak yang apik. Tak sedikit dari karya mereka yang berhasil. Saya, menaruh ekspektasi tinggi karenanya.
Dan seperti biasa. Kecewa, memang selalu datang dari ekpektasi yang berlebihan.
Di awal kemunculannya, sampai waktu yang entah, Death Note versi manga akan selalu menjadi salah satu mahakarya cerita yang pernah dibuat oleh manusia. Kita dapat melihat gambaran sosok manusia modern yang sempurna pada diri Light Yagami. Ia pintar luar biasa, tampan, hidup berkecukupan, piawai dalam berbagai bidang: seni, olahraga, segalanya. Atau dalam sisi yang berbeda, kesempurnaan itu juga dapat kita lihat pada tokoh L. Dan selanjutnya, apa yang terjadi antara keduanya akan membiaskan kebiasaan yang ada di cerita lain. Di sini, kita tidak pernah benar-benar bisa menghakimi siapa protagonis siapa antagonis. Death Note (versi asli) adalah sebuah pertarungan antar jenius yang memesona.
Dan Deathnote Netflix adalah sampah. Alih-alih serial, ia dibuat sebagai film tunggal. Dengan cerita yang baru, dengan pendekatan ala milenial barat, yang amat jauh dari cerita aslinya
Entah apa yang ada di kepala Adam Wingard (sutradara) serta jajaran penulis yang dengan teganya membuat Light menjadi sedemikian cengeng, ceroboh, bloon, penakut pula. Jangankan menjadi dewa dan menjadi pemimpin dunia, sebagaimana obsesi Light di Death Note manga, bahkan saya ragu Light versi Netflix bisa menjadi pemimpin rumah tangga. Ia tidak tegas, mudah sekali diatur, tidak bisa mengambil keputusan. Tipe-tipe karyawan yang tidak akan lolos masa percobaan. Adegan di mana ia bertemu Ryuk pertama kali menjadi momen yang paling saya ingat dan momen di mana saya menyesal. Sisanya, adalah kekecewaan.
Saya sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan L yang diperankan oleh karakter kulit hitam. Sah-sah saja, saya rasa. Selama ia dapat menjadi L. L yang kita semua cintai. Namun, sayang sekali, kita tidak akan mendapatkan apa yang kita ingingkan. Sama halnya dengan Light, L versi Netflix adalah sampah lainnya. Bertindak tanpa pikir panjang, cenderung labil, dan, ah, saya bingung harus bilang apa.
Meskipun live action Death Note versi Jepang tidak kalah mengecewakan, setidaknya di sana kita dapat menemukan sosok L yang ideal dalam diri Ken'ichi Matsuyama. Death Note Netflix sama sekali tidak memberikan kepuasan hakiki. Bahkan, sekelas William Dafoe yang menjadi Ryuk, pun, tidak dapat membantu banyak. Jelas, di sini peran Ryuk tidak terlalu banyak. Bahkan saya lupa apa signifikansinya Ryuk di versi ini. Dihilangkan, pun, tidak masalah. Karena ada pun ia tidak berguna.
Di IMDB, saat tulisan ini dibuat, Death Note Netflix mendapatkan rating 4.6 bintang. Yang saya pikir masih terlalu tinggi. Nol koma, saya rasa lebih pantas mereka dapatkan. Pemilihan lagu, dan efek kematian ala Final Destination mungkin masih menjadi daya tarik, meskipun hal itu menjadi mengabaikan ciri khas Death Note itu sendiri.
Ah, jika saya memiliki uang berlebih, saya ingin mengundang mereka, yang bertanggung jawab terhadap Death Note Netflix, untuk datang ke rumah saya, kemudian saya nyalakan televisi, sodorkan FTV cinta-cintaan, kemudian berbisik di telinga mereka: 'Bangsat, masih mending acara tv negeri gue ketimbang bikinan lau".
0 komentar