Marlina Pembunuh dalam Empat Babak, karena judulnya yang kepanjangan, jadi untuk selanjutnya di postingan ini kita sepakat untuk menyebut film ini dengan judul ‘Si Boy’ saja, ya. Oke, becanda. Kita sebut saja dengan ‘Marlina’.
Kesan awal begitu mendengar judul film ini adalah, thriller, penuh darah, serem lah pokoknya. Gimana nggak serem, udah pembunuh, dalam empat babak pula. Persib aja cuman sanggup satu setengah babak lebih lawan Persija. Ini empat babak coba. Tapi begitu liat poster dan teaser gambarnya yang memperlihatkan background Sumba, rasanya kok ndak relevan ya saya kesan horrornya.
Dan jawabannya memang harus ditemukan dengan cara menontonnya langsung (kecuali udah diceritain atau kena spoiler dari updetan status temen di Path. Eh masih ada yang maen Path gak, sih?). Sumba sebagai background cerita Marlina ternyata bukan cuma sekedar latar ‘yang penting ada’. Sumba menjadi bagian penting dalam cerita. Lanskapnya yang gersang dan sepi, adat istiadat, budaya, hingga bahasa, semuanya punya peran penting. Dalam artian gini, kalo film ini bukan di Sumba ceritanya bakal jauh berbeda.
Kalau niatnya film ini ingin cari perhatian, maka pemilihan Sumba terbilang berhasil. Mirip-mirip settingnya Pendekar Tongkat Emas namun, ini lebih ‘asing’. Jangankan nanti orang asing yang nonton, orang Indonesia pun pasti bergumam, “gila, di Indonesia ada nih yang begini?”
Lanskap hening dan gersang itu semakin dikuatkan dengan teknik pengambilan gambar yang sangat jarang ditemui di film-film Indonesia lain. Jadi kameranya itu steady, nggak gerak. Tiap scene ‘dikurung’ di satu frame. Ketika ada insert adegan dengan pemandangan alam Sumba, ini berasa banget eyegasm-nya. Walau seolah ‘dikurung’ bukan berarti dialog dan gestur para pemain Marlina ini jadi terbatas. Justru semakin terlihat karakternya. Ditambah lagi dengan banyaknya pengambilan gambar dengan long shoot tanpa cut. Penonton jadi fokus. Durasinya pun cukup. Nggak kebayang gimana bosennya dengan teknik statis kayak gitu tapi durasinya kelamaan.
Marsha Timothy sebagai Marlina niat betul kayaknya untuk peran ini. Sorot matanya yang nanar penuh kepedihan, tapi garang bikin emosi film ini terjaga stabil. Isu dalam film ini sangat sensitif sebetulnya. Tentang hal yang sejak dulu diperdebatkan. Yaitu feminisme. Wanita, haknya dirampas, dan tinggal di pedalaman Indonesia. Apa yang bisa dilakukan?
Musik latarnya juga asik. Ala-ala koboi dengan sentuhan etnis Indonesia Timur. Dan jangan lupa juga menikmati nada satir dari lagu Lazuardi-nya Cholil Efek Rumah Kaca. Bikin film ini berasa betul jeritan hatinya.
Ini film kayaknya bakal banyak menang festival di mana-mana. Soalnya biasanya ciri-ciri film juara festival itu kuat di pesan yang disampaikan. Marlina sangat kuat di situ. Seolah ingin mengingatkan, jika jerit hati terkeras wanita tak didengar, jika hak dasar wanita tak diindahkan, jika tubuh wanita tidak dihormati selayaknya, maka jawabannya adalah sepenggal kepala pria.
Kesan awal begitu mendengar judul film ini adalah, thriller, penuh darah, serem lah pokoknya. Gimana nggak serem, udah pembunuh, dalam empat babak pula. Persib aja cuman sanggup satu setengah babak lebih lawan Persija. Ini empat babak coba. Tapi begitu liat poster dan teaser gambarnya yang memperlihatkan background Sumba, rasanya kok ndak relevan ya saya kesan horrornya.
![]() |
Sumber gambar: movfreak.com |
Dan jawabannya memang harus ditemukan dengan cara menontonnya langsung (kecuali udah diceritain atau kena spoiler dari updetan status temen di Path. Eh masih ada yang maen Path gak, sih?). Sumba sebagai background cerita Marlina ternyata bukan cuma sekedar latar ‘yang penting ada’. Sumba menjadi bagian penting dalam cerita. Lanskapnya yang gersang dan sepi, adat istiadat, budaya, hingga bahasa, semuanya punya peran penting. Dalam artian gini, kalo film ini bukan di Sumba ceritanya bakal jauh berbeda.
Kalau niatnya film ini ingin cari perhatian, maka pemilihan Sumba terbilang berhasil. Mirip-mirip settingnya Pendekar Tongkat Emas namun, ini lebih ‘asing’. Jangankan nanti orang asing yang nonton, orang Indonesia pun pasti bergumam, “gila, di Indonesia ada nih yang begini?”
Lanskap hening dan gersang itu semakin dikuatkan dengan teknik pengambilan gambar yang sangat jarang ditemui di film-film Indonesia lain. Jadi kameranya itu steady, nggak gerak. Tiap scene ‘dikurung’ di satu frame. Ketika ada insert adegan dengan pemandangan alam Sumba, ini berasa banget eyegasm-nya. Walau seolah ‘dikurung’ bukan berarti dialog dan gestur para pemain Marlina ini jadi terbatas. Justru semakin terlihat karakternya. Ditambah lagi dengan banyaknya pengambilan gambar dengan long shoot tanpa cut. Penonton jadi fokus. Durasinya pun cukup. Nggak kebayang gimana bosennya dengan teknik statis kayak gitu tapi durasinya kelamaan.
Marsha Timothy sebagai Marlina niat betul kayaknya untuk peran ini. Sorot matanya yang nanar penuh kepedihan, tapi garang bikin emosi film ini terjaga stabil. Isu dalam film ini sangat sensitif sebetulnya. Tentang hal yang sejak dulu diperdebatkan. Yaitu feminisme. Wanita, haknya dirampas, dan tinggal di pedalaman Indonesia. Apa yang bisa dilakukan?
Musik latarnya juga asik. Ala-ala koboi dengan sentuhan etnis Indonesia Timur. Dan jangan lupa juga menikmati nada satir dari lagu Lazuardi-nya Cholil Efek Rumah Kaca. Bikin film ini berasa betul jeritan hatinya.
Ini film kayaknya bakal banyak menang festival di mana-mana. Soalnya biasanya ciri-ciri film juara festival itu kuat di pesan yang disampaikan. Marlina sangat kuat di situ. Seolah ingin mengingatkan, jika jerit hati terkeras wanita tak didengar, jika hak dasar wanita tak diindahkan, jika tubuh wanita tidak dihormati selayaknya, maka jawabannya adalah sepenggal kepala pria.
0 komentar