Meraih tiga juta penonton dalam rentang waktu sepuluh hari semenjak pertama
kali tayang tentu bukan sebuah prestasi yang mudah dicapai oleh film Indonesia.
Bahkan Ada Apa Dengan Cinta 2? Atau
pun Ayat-ayat Cinta yang fenomenal,
dalam rentang waktu yang sama, hanya menghasilkan jumlah penonton yang lebih
sedikit. Dilan 1990 adalah film yang
saya maksud.
Banyak sekali cerita yang mengiringi perjalanan film Dilan 1990 bahkan semenjak masa pra-produksi. Yang paling diingat
tentu saja ketika nama-nama pemeran Dilan
1990 diumumkan. Iqbaal (dengan dua a yang wajib) eks personel boyband cilik
yang didapuk memerankan Dilan, sang tokoh utama, dinilai kurang pantas dengan
banyak sekali alasan. ‘Kurang Bandung’, ‘kurang bandel’, ‘terlalu tampan’ dan
banyak lagi kalimat-kalimat miring. Namun, dengan tiga juta penonton dalam
waktu sepuluh hari belaka. Apakah Iqbaal mampu membungkam kritkan-kritikan itu?
Sebentar, negeri ini memang aneh. Jumlah penonton, tidak lah mesti membuat film
itu bagus. Toh, film terlaris sepanjang masa di negeri ini sampah banget, kan?
![]() |
Sumber gambar @pidibaiq |
Dilan 1990 adalah sebuah adaptasi dari novel laris yang
berjudul (hampir) sama karya Pidi Baiq. Di film ini pun Pidi Baiq (bersama
Fajar Bustomi) bertindak juga sebagai sutradara.
Tidak banyak film adaptasi dari buku yang sukses. Malah sebagian besar di
antaranya berujung tragis dengan hasil yang menyedihkan. Namun, Dilan 1990 adalah pengecualian. Ia
benar-benar mampu mengadaptasi isi buku dengan teramat baik. Untuk menulis ini,
saya yang berhenti membaca Dilan karena bosan (alasannya ada di tautan: Berhenti Menyukai Dilan) merasa harus
untuk membaca ulang bukunya. Dan saya kaget, ternyata hanya ada satu-dua adegan
belaka dibukunya yang tidak ada di dalam film. Sisanya? Dilan 1990 adalah media lain dari buku Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990.
Saya maklum. Karena toh, sebenarnya Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 hanyalah cerita pendek yang
memiliki dialog teramat panjang. Ketika film ini berhasil mengadaptasi semua adegan
di dalam buku, ya, karena memang cerita di bukunya juga sedikit, sih. Ia
benar-benar mengandalkan dialog belaka.
Kekuatan Dilan:
dia adalah Dilanku tahun 1990 adalah dialog. Jika di buku saya merasa cepat bosan karena banyak sekali
aksara yang tidak perlu. “Ha ha ha ha”, “he he he he”, penerjemahan bahasa di
setiap bahasa Sunda dituliskan dan banyak hal lain yang menurut saya tidak
perlu hanya menambah-nambah halaman belaka. Namun, di film, dialog-dialog itu
bertransformasi menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Iqbaal benar-benar membungkam kritikan di awal penunjukannya sebagai Dilan.
Vanessa Priscilia, pemeran Milea, pun tidak kalah memesona. Saling lempar kata
di film Dilan 1990 tampak begitu
alami. Iqbaal dan Vanessa betul-betul seperti pasangan di dunia nyata. Ekspresi
Vanessa yang polos begitu menggemaskan. Iqbaal pun cukup pas menunjukan
ekspresi Dilan yang tengil, namun lucu.
![]() |
Sumber gambar @pidibaiq |
Satu-satunya kekurangan Iqbaal sebagai Dilan adalah bentukan fisiknya yang
kurang kekar sebagai Dilan sang panglima tempur. Iqbaal terlalu kurus untuk
menjadi seorang petarung. Tapi, ini kan film cinta-cintaan. Siapa peduli dengan
badan berotot? Ah, satu lagi. Iqbaal masih terlalu tampan untuk menjadi Dilan.
Pilihan soundtracknya pun saya pikir cukup pas. ‘Di waktu SMA’ yang menjadi
soundtrack utama memberi kesan klasik untuk film yang bersetting tahun 1990.
Hanya saja peran apik Iqbaal dan Vanessa sebagai Dilan-Milea tidak
diimbangi oleh para pemeran pembantu. Sedikit bisa dimaklumi, para pemeran
pembantu tidak memiliki kesempatan yang banyak untuk unjuk gigi. Scene mereka sedikit sekali.
CGI di mobil itu sampah. Untung cuma itu saja.
Secara umum, Dilan 1990 sangat
layak untuk ditonton. Ia menawarkan sesuatu yang benar-benar baru. Beberapa
banyak berasumsi bahwa Dilan 1990
adalah pengganti yang tepat untuk Ada apa Dengan Cinta?. Berlebihan memang. Tapi tampaknya,
untuk beberapa waktu ke depan. Sosok Dilan memang akan lebih dicintai ketimbang
Rangga. Meski sebetulnya, untuk saya, Mas Rangga takkan pernah tergantikan.
Saya, yang menonton hanya karena jatah menulis ulasan ditambah saya sudah ilfil sama buku Dilan, masih bisa
menikmati film ini. Dan jika Anda sama seperti saya. Ilfil sama buku Dilan. Percayalah, di versi film, kita akan
mendapatkan Dilan yang lebih menyenangkan.
Tapi, bersabarlah jika sepanjang film, di setiap gombalan Dilan keluar, dedek-dedek gemes akan menjadi sangat
ribut.
Jd secara visual lbh enak nih si Dilannya, hmmmm
ReplyDeleteMgkn tertolong krn pemainnya cakep, hahaha
Endak juga. Bukan karena itu, kalau di buku dialognya keganggu sama hal-hal yang gak penting, nah di sini dialognya bersih.
DeleteMungkin itu ya