Anjir! Anjir! Anjir!
Ketahuilah, kata-kata yang saya sebutkan di
atas bukan bermaksud kasar. Kamu boleh menggantinya dengan kata atau kalimat
apa pun yang kamu imani untuk mengekspresikan kekaguman atas apa yang kamu
lihat. Seratus delapan puluh satu menit dan hampir dari separuh waktu itu saya
berucap ‘anjir’ demi kekaguman saya yang luar biasa untuk film pamungkas Marvel
Cinematic Universe. Avengers: Endgame.
Endgame bukan hanya sekadar film pahlawan super
belaka. Lebih dari itu, ia menyajikan drama, kisah cinta yang pedih, komedi,
aksi, fiksi ilmiah dengan segudang teori rumit dan banyak lagi kompleksitas
cerita yang dituangkan dalam satu panggung yang istimewa. Beri tepuk tangan
penuh penghargaan untuk Russo bersaudara yang mampu menyentil emosi para
penonton dengan sajian sisi kelam para pahlawan super. Salah satu cara yang
jarang ada di film-film Marvel. Di sini penonton dipaksa untuk getir dan
berempati ketika melihat emosi para pahlawan super yang tersisa paska decimation yang dilakukan Thanos (Josh
Brolin; Sicario 2015) di Avengers: Infinity
Wars. Marah, kesal, dendam, emosi, kecewa, pesimis, speechless dirangkum dalam satu narasi yang menyedihkan.
![]() |
Sumber gambar: NBC News.com |
Di lebih separuh awal film penonton awam
mungkin akan merasa bosan. Dalam gelembung dialog di pikiran mereka mungkin ‘film
superhero kok gini, sih?’ demi melihat
durasi tanpa aksi.
Iya, bagi sebagian mereka pengembangan konflik Endgame memang terasa lama dan sedikit
membosankan. Tapi untuk penonton yang telah melahap dua puluh satu film
sebelumnya justru sebaliknya. Di situlah rangkaian memori dan kenangan dimainkan.
Satu persatu kejadian yang melibatkan banyak sekali karakter ditulis dengan
sedemikian rapi. Beberapa di antaranya beririsan, beberapa yang lain bertumpang
tindih. Menjadikannya sebuah plot twist
yang sederhana namun ‘ngena’. Dan segala kerumitan cerita akhirnya berkorelasi
dalam benang merah yang membawanya ke satu tujuan akhir: Endgame.
Tidak seperti Infinity Wars yang lebih fokus pada Thanos dengan segala rencananya
sehingga peran karakter-karakter lain terpaksa tereduksi. Pada Endgame hampir semua karakter mendapat
peran yang sama pentingnya. Bahkan, jika kamu jeli, dalam dialog-dialog yang
dibangun, secara tersirat, peran masing-masing karakter ikut ditegaskan.
Sekelam apa pun narasi yang coba dihadirkan
oleh Russo bersaudara tidak membuat mereka menghilangkan ciri khas dari
film-film Marvel. Tony Stark yang satir, Steve Roger yang polos-polos bego,
Scott Lang yang sok tahu tapi menyebalkan atau Thor yang dengan segala
arogansinya tetap dapat menghadirkan komedi khas Marvel secara bergantian.
![]() |
Sumber gambar: Guidingtech.com |
Dalam salah satu sesi wawancara, Robert Downey
Jr. (pemeran Tony Stark) mengatakan bahwa ‘8 menit akhir dari Endgame adalah
yang terbaik dari seluruh semesta Marvel Cinematic yang pernah dibuat’. Saya
setuju? Tidak. Untuk saya, tiga puluh menit terakhir Endgame adalah yang terbaik. Di sana, di tiga puluh menit terakhir
itu, kamu akan melihat salah satu adegan pertarungan terbaik sepanjang masa, di
sana kamu akan tertawa, di sana kamu akan merasa bahagia, di sana kamu akan menangis,
di sana syahwat menonton film-mu akan berejakulasi, di sana kamu juga akan
patah hati.
Jika kamu melihat Endgame sebagai sebuah film
tunggal. Film ini mungkin akan terasa biasa-biasa saja. Tapi sayangnya, Endgame
adalah sebuah kesatuan film yang ‘dibuat’ selama sebelas tahun yang tak
terpisahkan. Endgame adalah penutup yang mengesankan dari dua puluh satu
perjalanan.
Dan, permainan selesai.
![]() |
Sumber gambar: Imdb.com |
Intinya nih kalau udah nonton rangkaian yg lalu, akan suka film ini. Dan aku tim yang belum nonton seri sebelumnya
ReplyDelete