“Tidak ada Islam radikal, adanya orang berpaham radikal yang kebetulan beragama Islam.” –Pandji Pragiwaksono-
Film Hotel Mumbai secara telak memvisualkan ucapan seorang stand up comedy-an di atas. Hotel Mumbai diangkat berdasarkan kisah nyata. Menggambarkan India sebagai sebuah negara besar dengan populasi terbesar nomor dua dunia. Masalahnya, India nampaknya tidak siap menanggung ‘bonus’ demografi ini. Karena pesatnya pertumbuhan jumlah penduduknya, diprediksi tidak sampai tahun 2030 India akan menggeser Tiongkok sebagai negara berpenduduk terbanyak di bumi.
Jumlah penduduk yang banyak tetapi tidak dibarengi oleh pemerataan fisik dan sumber daya manusianya, membuat India memiliki penyakit kronis bak kanker yang menyebar bernama kesenjangan sosial. Ini lah premis yang ingin diangkat film Hotel Mumbai. Sebuah ketidakpuasan akan sistem yang disalurkan secara salah oleh paham ekstrem.
Jika diibaratkan kurva demand/supply terhadap harga dalam ekonomi, tensi film ini bergerak dari kiri bawah ke kana atas. Terus menanjak. Pengenalan sosio kultural India, khususnya di kota pusat perekonomian India, Mumbai, ditampilkan secara padat, ringkas, simpel, tetapi substansinya yang sangat berbobot bisa ditangkap dengan utuh.
Film Hotel Mumbai secara telak memvisualkan ucapan seorang stand up comedy-an di atas. Hotel Mumbai diangkat berdasarkan kisah nyata. Menggambarkan India sebagai sebuah negara besar dengan populasi terbesar nomor dua dunia. Masalahnya, India nampaknya tidak siap menanggung ‘bonus’ demografi ini. Karena pesatnya pertumbuhan jumlah penduduknya, diprediksi tidak sampai tahun 2030 India akan menggeser Tiongkok sebagai negara berpenduduk terbanyak di bumi.
Jumlah penduduk yang banyak tetapi tidak dibarengi oleh pemerataan fisik dan sumber daya manusianya, membuat India memiliki penyakit kronis bak kanker yang menyebar bernama kesenjangan sosial. Ini lah premis yang ingin diangkat film Hotel Mumbai. Sebuah ketidakpuasan akan sistem yang disalurkan secara salah oleh paham ekstrem.
Jika diibaratkan kurva demand/supply terhadap harga dalam ekonomi, tensi film ini bergerak dari kiri bawah ke kana atas. Terus menanjak. Pengenalan sosio kultural India, khususnya di kota pusat perekonomian India, Mumbai, ditampilkan secara padat, ringkas, simpel, tetapi substansinya yang sangat berbobot bisa ditangkap dengan utuh.
Film ini bisa dibilang tidak mempunyai pemeran utama. Karena masing-masing karakter punya peran, tujuan, dengan porsi dan urgensi yang nyaris sama. Merinding sama akting para terroris yang digawangi oleh aktor Amangdeep Singh. Muka dingin, dan mata sadisnya itu seperti betulan memendam luka amat dalam dan siap meledak dalam bentuk dendam.
Dev Patel, aktor kebanggaan ‘pribumi’ dalam film ini tampil memukau sebagai pemeluk Sikh dengan sorban di kepalanya. Walau tidak umbar-umbar pesona seperti di film-filmnya yang lain, akting tulus Dev sepanjang film terlihat sangat genuine. Namun, pencuri panggung di film ini adalah Nazanin Boniadi. Aktris cantik ini sangat total memerankan seorang ibu dan istri yang sedang dicekam teror.
Jika dilihat dari pola dan plot cerita, Hotel Mumbai sangat mirip dengan film No Escape (Owen Wilson, 2015) hanya saja setting dan ruang lingkupnya lebih kecil. Adegan berdarah-darah muncrat sana-sini tidak terlalu keras (sudah kena sensor juga, mungkin) tetapi tidak mengurangi ketegangan yang menjadi kekuatan utama Hotel Mumbai.
Terpenting dari itu semua, seperti kebanyakan film-film India yang banyak muncul sekarang, Hotel Mumbai membawa kritik sosial yang dalam untuk India. Di berbagai bidang dari sosial-ekonomi, bahkan hingga militer.
Untuk semua korban kekerasan teroris di Hotel Mumbai, mengheningkan cipta, mulai…
Banyak juga yang bahas film ini di twitter. Pengen nonton, tapi ga ada bioskop disini. Semoga nanti aplikasi streaming film legal ada film ini.
ReplyDelete