Di dalam sebuah karya bercerita, baik komik, novel, atau film, rasanya hampir selalu ada karakter atau tokoh antagonis yang menyebalkan tetapi ‘disayang’ sama penikmat. Contohnya Draco Malfoy di Harry Potter atau sosok Loki di semesta Thor. Kesan cupu Harry bakal jadi biasa saja dan tidak mengundang simpati kalau tidak ada karakter gamparable macam Malfoy. Bahkan konflik Harry-Draco ini rasanya lebih ngangenin dibanding pertarungan Harry-Vodemort yang sesungguhnya jadi plot utama Harry Potter.
Di dunia superhero, kita punya sosok protagonis kesayangan sepanjang masa bernama Batman. Bob Kane, sang kreator, mungkin tidak akan menyangka dari sesosok Batman cerita bisa berkembang menjadi bermacam-macam plot, eksplorasi karakter, hingga ide-ide baru. Dari Batman, lahir penyeimbang sang jagoan bernama Joker.
Terlepas dari simpang siur dan sengketa tentang darimana inspirasi sehingga sosok Joker bisa lahir, tapi saya sepakat bahwa tujuan Joker diciptakan adalah sebagai lawan sepadan buat sang Ksatria Malam dari Gotham. Untuk terlihat digdaya, Batman perlu lawan yang memiliki kemampuan setara namun kontras. Batman yang misterius, Joker yang banci tampil. Batman yang woles, Joker yang hahahihi. Batman yang serak-serak berat, Joker yang cempreng. Batman yang gelap, Joker yang penuh warna. Kontras. Namun mereka punya tingkat intelejensia yang sama dan sama-sama dibentuk dari masa lalu kelam. Tidak ada yang lebih menarik daripada rivalitas seperti itu.
Di dunia superhero, kita punya sosok protagonis kesayangan sepanjang masa bernama Batman. Bob Kane, sang kreator, mungkin tidak akan menyangka dari sesosok Batman cerita bisa berkembang menjadi bermacam-macam plot, eksplorasi karakter, hingga ide-ide baru. Dari Batman, lahir penyeimbang sang jagoan bernama Joker.
Terlepas dari simpang siur dan sengketa tentang darimana inspirasi sehingga sosok Joker bisa lahir, tapi saya sepakat bahwa tujuan Joker diciptakan adalah sebagai lawan sepadan buat sang Ksatria Malam dari Gotham. Untuk terlihat digdaya, Batman perlu lawan yang memiliki kemampuan setara namun kontras. Batman yang misterius, Joker yang banci tampil. Batman yang woles, Joker yang hahahihi. Batman yang serak-serak berat, Joker yang cempreng. Batman yang gelap, Joker yang penuh warna. Kontras. Namun mereka punya tingkat intelejensia yang sama dan sama-sama dibentuk dari masa lalu kelam. Tidak ada yang lebih menarik daripada rivalitas seperti itu.
Berpuluh-puluh tahun Joker mendampingi Batman, hingga DC menjadi salah satu raja komik dunia, selama itu pula tertanam image bahwa Si Badut adalah musuh bebuyutan Sang Kelelawar. Penjahat-penjahat DC bisa saja berperan silih berganti dan santai-santai saja. Tetapi untuk Joker, beban berat sudah menanti.
Di versi film, sudah beberapa aktor yang memerankan Joker dan tidak pernah lepas dari kritik. Mari lewatkan Cesar Romero, pemeran Joker pertama di serial Batman tahun 60-an. Terlalu jauh, referensi saya kurang. Lalu ada Jack Nicholson di Batman versi Michael Keaton, Joker ini dikritik karena kurang dark dan kurang psycho. Lalu Joker yang diperankan Jared Leto menuai kritik karena penampilan visualnya yang lebih mirip rapper. Namun, masih ada Joker yang menuai pujian dan memuaskan fans Batman.
Mark Hamill rasanya bisa dikatakan sukses. Namun, itu dilakukan di serial animasi. Hamill berhasil menarik perhatian penggemar Batman melalui suara dan gaya bicara. Ada dua aktor lagi yang memiliki kesempatan memerankan Joker. Heath Ledger, dan Joaquin Phoenix.
Phoenix akhirnya bisa memberikan perlawanan kepada Joker-nya Ledger yang selama ini digadang-gadang adalah Joker terbaik dalam film. Agak berat memang buat Jared Leto saat itu, di samping Joker yang diperankannya bukan tokoh utama, tidak bisa dipungkiri juga beban berat itu karena dia mewarisi Joker setelah Ledger.
Lalu mana yang terbaik, versi Phoenix, atau Ledger?
Selain pertanyaan sulit, pertanyaan itu juga rasanya tidak fair menurut saya. Karena dua Joker ini memiliki masalah dan fungsi yang berbeda dalam film. Joker-nya Heath Ledger, sudah sangar sejak awal film. Orang sudah tahu dia Joker. Joker di sini sudah punya lawan, yaitu Batman. Ledger sudah ditugaskan supaya orang ramai-ramai membencinya. Joker-nya Heath Ledger sudah diset untuk jadi full antagonis, tidak ada ruang untuk dia mendapatkan simpati dari penonton. Sentuhan Chris Nolan dalam membuat film Batman yang berbeda dari sebelum-sebelumnya menyempurnakan akting Ledger sebagai penjahat Psikopat akut.
Joker-nya Joaquin Phoenix, saya tidak bilang lebih baik, ini lebih mendalam. Harus memerankan karakter pra-Joker yang memiliki sejumlah penyakit mental serius dan jahatnya deraan sosial membuat Phoenix terlihat lebih teatrikal, lebih humanis, lebih apa, ya? Sinematik, mungkin? Oscarable, lah. Sekuens yang harus dilalui lebih banyak. Wajar, di sini Jokernya betul-betul sendirian, tidak berbagi panggung dengan Batman. Lawan Joker di sini adalah dirinya sendiri dan lingkungan sosial. Ini yang membuat perbedaan besar dibanding Joker-nya Ledger, di sini penonton diberi ruang bersimpati dan empati atas sosok Joker. Percayalah, di antara sekian banyak penonton Joker, pasti ada sedikit yang mendukung tokoh Arthur membunuh orang-orang yang membully-nya.
Jadi, yang mana Joker-mu?
Dua-duanya mengajak kita untuk tersenyum…dengan caranya sendiri.
0 komentar